Home » » Dosa Melupakan Ayat al-Quran - Takhrij Hadis

Dosa Melupakan Ayat al-Quran - Takhrij Hadis

Written By Unknown on Selasa, 19 November 2013 | 08.19

PENULIS: 

Moh. Sani Abdul Malik [NPM: 10.31.0272] 
Fakultas Ushuluddin - Institut PTIQ Jakarta
FB - Sanny Abd M


BAB I
PENDAHULUAN

A. PERMASALAHAN

Di kalangan para penghafal al-Qur`an banyak informasi yang dikatakan merupakan hadits mengenai dosa bagi orang yang melupakan atau lupa dengan hafalan al-Qur`an. Salah satu redaksi muatan hadits tersebut adalah yang diterjemahkan sebagai berikut:

Tiada dosa yang lebih besar daripada melupakan al-Qur`an, “Telah diperlihatkan kepadaku semua pahala amalan umatku hingga kotoran yang dikeluarkannya dari masjid. Aku juga telah ditunjukkan dosa-dosa umatku, maka tidak aku lihat dosa yang lebih besar dari orang yang mengetahui ayat atau surat al-Qur`an kemudian melupakannya”.

Dari pemaparan redaksi hadits dan hubungannya dengan urgensinya sebagai argumentasi suatu tuntunan bagi umat Islam, timbul beberapa permasalahan, diantaranya:
  1. Siapakah yang meriwayatkan hadits tersebut?
  2. Bagaimanakah skema transmisi periwayatan hadits tersebut?
  3. Bagaimana kualitas para perawi hadits tersebut?
  4. Apa hipotesa hukum hadits dari penelitian salah satu jalur transmisi?
  5. Bagaimana hubungan kandungan hadits tersebut dengan berbagai hadits lain?

B. METODE DAN SITEMATIKA

Dalam penelusuran sumber dan asal-usul hadits tersebut, peneliti mengunakan pendekatan dan metode sebagai berikut: 
  1. Pendekatan redaksional dan tema dengan bertumpu pada methode mu’jami (alfazhi), fihrisi, dan istiqra`i maudhu’i (Manual).
  2. Pendekatan deskripsional dengan metode istiqra’i isnadi wa matni (analisis transmisi dan analisis materi, isi atau muatan dengan media Digital). 

Sedangkan dalam penelitian biografi, keadaan, dan kedudukan para perawi, peneliti menggunakan metode:
  1. Penelusuran biografi para rawi pada suatu runtutan transmisi dengan manual maupun digital.
  2. Penulusuran berbagai pendapat pakar ilmu hadits tentang para rawi pada transmisi tersebut. 

Adapun sistematika penulisan, laporan penelitian ini terdiri dari: Bab I merupakan Pendahuluan, meliputi; Latar Belakang, Permasalahan, Metode dan Sistematika. Bab II Penelusuran, terdiri dari; Hasil Penelusuran Manual, Hasil Penelusuran Digital, dan Perbandingan Matan Hadits. Bab III Penelitian Transmisi Hadits, meliputi; Perbandingan dan Skema Transmisi Periwayatan, Biografi Perawi, Penilaian Ulama Terhadap Perawi, Ringkasan. Bab IV Penutup terdiri dari Pendapat Para Ahli dan kesimpulan dari penelitian kualifikasi transmisi hadits.


BAB II 
PENELUSURAN 

A. HASIL PENELUSURAN MANUAL 

Dalam menelusuri hadits dengan pendekatan redaksional metode mu’jami (alfazhi), maka diperlukan penerjemahan kembali ujung (tharf) redaksi pada matan kedalam bahasa aslinya (Arab). Hingga kemudian dapat ditelusuri sesuai penertiban abjad dalam mu’jam. Dalam proses ini dilakukan penerjemahan ujung kalimat dari terjemahan hadits sebagai berikut:



Ketika ditelusuri dalam al-Mu’jam al Mufahrasy, ditemukan hasil yang menunjukkan bahwa redaksi tersebut terdapat pada hadits yang tercantum dalam[1]

  • ت، ثواب القرآن، ١٩ 
  • د، كتاب الصلاة، ١٦

Selanjutnya diteruskan dengan proses penelusuran dengan metode fihrisi dan istiqra`i maudhu’i , dengan menelusuri hadits pada kitab-kitab yang tertera di mu’jam secara meneliti daftar isi dan tema-tema yang berkaitan dengan keutaman al-Qur`an. Adapun hasil penelusurannya adalah sebagai berikut:

  •  سنن الترمذي، كتاب فضائل القرآن: 

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ الْحَكَمِ الْوَرَّاقُ الْبَغْدَادِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَجِيدِ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ الْمُطَّلِبِ بْن حَنْطَبٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُرِضَتْ عَلَيَّ أُجُورُ أُمَّتِي حَتَّى الْقَذَاةُ يُخْرِجُهَا الرَّجُلُ مِنْ الْمَسْجِدِ وَعُرِضَتْ عَلَيَّ ذُنُوبُ أُمَّتِي فَلَمْ أَرَ ذَنْبًا أَعْظَمَ مِنْ سُورَةٍ مِنْ الْقُرْآنِ أَوْ آيَةٍ أُوتِيهَا رَجُلٌ ثُمَّ نَسِيَهَا.[2]

  •  سنن أبو داود، كتاب الصلاة: 

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَبْدِ الْحَكَمِ الْخَزَّازُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْمَجِيدِ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ أَبِي رَوَّادٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ الْمُطَّلِبِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَنْطَبٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُرِضَتْ عَلَيَّ أُجُورُ أُمَّتِي حَتَّى الْقَذَاةُ يُخْرِجُهَا الرَّجُلُ مِنْ الْمَسْجِدِ وَعُرِضَتْ عَلَيَّ ذُنُوبُ أُمَّتِي فَلَمْ أَرَ ذَنْبًا أَعْظَمَ مِنْ سُورَةٍ مِنْ الْقُرْآنِ أَوْ آيَةٍ أُوتِيَهَا رَجُلٌ ثُمَّ نَسِيَهَا.[3]



B. HASIL PENELUSURAN DIGITAL

Setelah ditemukan redaksi hadits dengan metode mu’jami (alfazhi), kemudian dilanjutkan penelusuran redaksional dengan penggalan redaksi khusus pada matan dalam mutūn al-Hadīts, al-Maktabah as-Syāmilah, penggalan redaksi khusus yang diambil adalah kata (ثُمَّ نَسِيَهَا). 



Maka muncul hasil penelusuran menerangkan bahwa hadist tersebut terdapat pada berbagai sumber. Karena sumber yang dipakai hanya yang berupa kitab induk saja, yakni kiteb yang menampilkan transmisi perawi secara lengkap, maka hasil penelusurannya adalah sebagai berikut: 
  •  سنن الترمذى - (ج ١٠ / ص ١٥٨) 
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ الْحَكَمِ الْوَرَّاقُ الْبَغْدَادِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَجِيدِ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ الْمُطَّلِبِ بْن حَنْطَبٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُرِضَتْ عَلَيَّ أُجُورُ أُمَّتِي حَتَّى الْقَذَاةُ يُخْرِجُهَا الرَّجُلُ مِنْ الْمَسْجِدِ وَعُرِضَتْ عَلَيَّ ذُنُوبُ أُمَّتِي فَلَمْ أَرَ ذَنْبًا أَعْظَمَ مِنْ سُورَةٍ مِنْ الْقُرْآنِ أَوْ آيَةٍ أُوتِيهَا رَجُلٌ ثُمَّ نَسِيَهَا. 
  •  سنن أبى داود - (ج ٢ / ص ٥٠) 
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ عَبْدِ الْحَكَمِ الْخَزَّازُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْمَجِيدِ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ أَبِي رَوَّادٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ الْمُطَّلِبِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حَنْطَبٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عُرِضَتْ عَلَيَّ أُجُورُ أُمَّتِي حَتَّى الْقَذَاةُ يُخْرِجُهَا الرَّجُلُ مِنْ الْمَسْجِدِ وَعُرِضَتْ عَلَيَّ ذُنُوبُ أُمَّتِي فَلَمْ أَرَ ذَنْبًا أَعْظَمَ مِنْ سُورَةٍ مِنْ الْقُرْآنِ أَوْ آيَةٍ أُوتِيَهَا رَجُلٌ ثُمَّ نَسِيَهَا 
  •  صحيح ابن خزيمة - (ج ٢ / ص ٢٧١)
نا أبو طاهر نا أبو بكر نا عبد الوهاب بن الحكم نا عبد المجيد بن أبي رواد عن ابن جريح عن المطلب بن حنطب عن أنس بن مالك قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم عرضت على أجور أمتي حتى القذاة يخرجها لرجل من المسجد وعرضت على ذنوب أمتي فلم أر ذنبا هو أعظم من سورة القرآن أو آية أوتيها رجل ثم نسيها. 
  •  سنن البيهقي الكبرى - (ج ٢ / ص ٤٤٠( 
أنبأ الحسين بن محمد الفقيه أنبأ محمد بن بكر أنبأ أبو داود ثنا عبد الوهاب بن عبد الحكم ثنا عبد المجيد بن عبد العزيز بن أبي رواد عن بن جريج عن المطلب بن عبد الله بن حنطب عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : عرضت على أجور أمتي حتى القذاة يخرجها الرجل من المسجد وعرضت علي ذنوب أمتي فلم أر ذنبا أعظم من سورة من القرآن وآية أوتيها رجل ثم نسيها ورواه محمد بن إسحاق بن خزيمة عن عبد الوهاب بن الحكم الوراق. 
  •  المعجم الصغير - الطبراني - (ج ١ / ص ٣٣٠) 
حدثنا علي بن إسحاق بن الوزير الأصبهاني حدثنا محمد بن يزيد الآدمي حدثنا عبد المجيد بن عبد العزيز بن أبي رواد عن بن جريج عن الزهري عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : عرضت علي أجور أمتي حتى القذاة يخرجها الرجل من المسجد وعرضت علي ذنوب أمتي فلم أر ذنبا أعظم من آية أو سورة أوتيها رجل ثم نسيها 

C. PERBANDINGAN MATAN

Adapun dalam perbandingan matan, seluruh jalur periwayatan tidak ada perbedaan. Yakni semua Imam meriwayatkan dengan matan: 

عُرِضَتْ عَلَيَّ أُجُورُ أُمَّتِي حَتَّى الْقَذَاةُ يُخْرِجُهَا الرَّجُلُ مِنْ الْمَسْجِدِ وَعُرِضَتْ عَلَيَّ ذُنُوبُ أُمَّتِي فَلَمْ أَرَ ذَنْبًا أَعْظَمَ مِنْ سُورَةٍ مِنْ الْقُرْآنِ أَوْ آيَةٍ أُوتِيَهَا رَجُلٌ ثُمَّ نَسِيَهَا.


BAB III 
PENELITIAN TRANSMISI HADIS

A. PERBANDINGAN DAN SKEMA TRANSMISI PERIWAYATAN





B. BIOGRAFI PERAWI

Adapun para perawi yang diteliti ialah para perawi yang terdapat pada transmisi riwayat at-Tirmidzi. Mereka itu adalah:

1. Anas bin Malik

Nama lengkapnya adalah Anas bin Malik bin an-Nadhar bin Dhamdham bin Zaid bin Haral bin Jundab bin ‘Amir bin Ghanm bin ‘Adi bin an-Najjar al-Anshari, nama panggilannya Abu Hamzah al-Madini.[4] Ia adalah sahabat, perawi tingkat pertama yang kemudian tinggal di Basharah dan wafat tahun 92 H/93 H pada umur 103. Kedekatannya dengan Rasulullah karena ia berkhidmat kepada Rasulullah sejak pertama kalinya beliau hijrah ke Madinah pada tahun 1H hingga sepuluh tahun, sesuai dengan anjuran ibunya. Menurut az-Zuhri, Anas bin Malik pernah bertutur: “Ketika Rasulullah datang ke Madinah aku berumur 10 tahun, sedangkan ketika beliau wafat umurku 20 tahun.” 


Ja’far bin Sulaiman meriwayatkan dari Tsabit dari Anas bin Malik, semasa aku kecil, Ummu Sulaim (ibunya) membawanya kepada Rasulullah dengan kemudian berkata: “Wahai Rasulullah, ini si kecil Anas, do’akanlah ia.” Kemudian Rasulullah pun berdoa: “Ya Allah perbanyaklah hartanya dan anaknya, dan masukkanlah ia ke surga.”[5] Dan aku (Anas) mengharapkan yang ketiga itu dari pada dua yang lain. Selain dari Rasulullah, ia juga meriwayatkan hadits dari para sahabat, diantaranya; Abu Bakar, Umar, Utsman, ‘Abdullah bib Rawahah, Fatimah, Tsabit bin Qais, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, ibnu Mas’ud, dan para sahabat lain yang jumlahnya sampai 30 orang lebih.

Adapun para perawi yang menjadi murid dan meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik jumlahnya begitu banyak yang kemudian periwayatannya sampai pada al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa`i, dan Ibnu Majah. Namun dari sekian banyak daftar murid Anas bin Malik, tidak terdapat nama al-Muththalib bin Hanthab.[6]

2. Al-Muththalib bin Hanthab

Ialah al-Muththalib bin Abdullah bin al-Muththalib bin Hanthab bin al-Harits bin ‘Ubaid bin ‘Umar bin Makhzum al-Makhzumi. Pendapat lain mengatakan dengan menghapus nama al-Muthathalib yang kedua.[7] Ia merupakan perawi tingkat 4, yaitu tingkat setelah pertengahan tabiin. Ia meriwayatkan hadits dari Umar, Abu Musa al-Asy’ari, Zaid bin Tsabit, Aisyah, Ummu Salamah, Abu Hurairah, Abu Rafi’, ibn Abbas, ibn Umar, ibn Amr bin al-Ash, Anas bin Malik, Jabir, dan para sahabat yang lain.

Adapun para perawi yang meriwatkan darinya, diantaranya adalah; Anaknya al-Hakam, Khalid bin Rabah, Zuhair bin Muhammad at-Tamimi, Abdul Malik bin Juraij, dll. Periwayatannya sampai pada al-Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa`I, dan ibn Majah.

3. Ibnu Juraij 

Ia adalah Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij al-Qurasyi al-Umawi, biasa dipanggil Abu Walid dan Abu Khalid al-Makki. Ia wafat pada tanggal 10 Dzulhijjah tahun 150 H pada umur 70 tahun, dan merupakan perawi tingkat 6, yakni mereka yang sezaman dengan tabiin junior. Ia meriwayatkan hadits dari para tabiin yang diantaranya; bapaknya Abdul Aziz, Aban bin Shalih al-Bashri, Isma’il bin Umayah al-Qurasyi, al-Muththalib bin Hanthab, dll. Periwayatannya sampai kepada al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa`i, dan ibn Majah.[8]

Selain dari jalur al-Muththalib bin Hanthab, dalam periwayatan hadits ini dari Anas bin Malik, ia mempunyai jalur lain dari az-Zuhri. Dalam daftar murid-muridnya terdapat nama Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Ruwad. Yang konon katanya ia merupakan orang yang paling tahu dengan hadits yang diriwayatkan oleh ibnu Juraij. 

4. Abdul Majid bin Abdul Aziz 

Ia mempunyai nama lengkap Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Abu Rawwad al-Azdi. Biasa dipanggil Abdul Hamid al-Makki. Merupakan perawi tingkat 9, yakni atba’ tabiin junior yang wafat pada tahun 206 H.[9] Meriwayatkan hadits dari bapaknya Abdul Aziz bin Abu Rawwad, Aiman bin Nabil, ibn Juraij, dll. Sedangkan yang meriwayatkan darinya diantaranya, asy-Syafi’i, Ahmad dan terdapat pula dalam daftar nama murid-muridnya Abdul Wahhab bin Abdul Hakam yang periwayatannya diriwayatkan oleh Abu Dawud dan at-Tirmidzi, selain itu haditsnya juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, an-Nasa`I, dan ibnu Majah. 

5. Abdul Wahhab bin Abdul Hakam 

Nama lengkapnya adalah Abdul Wahhab bin Abdul Hakam bin Nafi’ al-Waraq, biasa dipanggil dengan Abu al-Hasan al-Waraq al-Baghdadi, an-Nasa`I dan Ahmad memanggilnya dengan sebutan Ibnu al-Hakam. Ia merupakan perawi tingkat 11, yaitu generasi pertengahan para pengambil hadits dari tabi’ tabiin. wafat pada tahun 250 H.[10]

Abdul Wahhab bin Abdul Hakam meriwayatkan hadits dari Hajaj bin Muhammad al-Mashishi, Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Rawwad, Muadz bin Muzdz al-Anbari, Yahya bin Sa’id al-Umawi, Yahya bin Salim at-Thaifi, dan Yazid bin Harun. Riwayat tersebut sampai kepada para Imam, yakni Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa`i. 

6. At-Tirmidzi 

Ialah Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin adh-Dhahak as-Sulami al-Bughi at-Tirmidzi. Lahir pada tahun 209 H Merupakan perawi tingkat 12, yaitu generasi pengambil hadits dari atba’ tabiin junior yang wafat pada tahun 279 H.[11] Dalam daftar guru-guru at-Tirmidzi terdapat nama Abdul Wahhab bin Abdul Hakam yang menjadi perawi yang meriwayatkan hadits ini padanya.

C. PENILAIAN ULAMA TERHADAP PERAWI 

1. Anas bin Malik 

Abu Hurairah berkata: “Aku tidak pernah melihat seseorang yang shalatnya menyerupai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam kecuali ibnu ‘Ummi Sulaim (Anas bin Malik)”.[12] Begitu pula Menurut Anas bin Sirin, Anas bin Malik merupakan orang yang terbaik shalatnya, ketika safar dan hadhar.[13] Sebagaimana kesepakatan para ulama bahwa para sahabat semuanya ‘adil,[14] maka Anas bin Malik dapat dijamin kredibilitasnya karena ia merupakan salah seorang sahabat yang paling dekat dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. 

2. Al-Muththalib bin Hanthab 

Menurut Ya’qub bin Sufyan, ad-Daruqutni, ibn Hibban al-Muththalib ialah tsiqah. Sebagaimana Ibn Abu Hatim berkata: Abu Zar’ah ditanya tentang kualitas al-Muththalib, kemudian beliau menjawab, ia merupakan orang yang tsiqah. Ibn Hajar berkata bahwa ia merupakan perawi yang terpercaya (shaduq), namun banyak menyamarkan identitas (tadlis) dan meriwayatkan hadits secara mursal. [15]

Menurut al-Mizzi, dalam periwayatan at-Tirmidzi dan Abu Dawud terdapat hadits yang diriwayatkan al-Muththalib dari Anas bin Malik, yang dalam hal ini diriwayatkan oleh muridnya Abdul Malik bin Juraij. Namun at-Tirmidzi dan Ali bin al-Madini mengingkari bahwa al-Muththalib pernah mendengar hadits dari Anas bin Malik.[16] Muhammad bin Sa’d menilai bahwa al-Muththalib bin Hanthab banyak meriwayatkan hadits, namun haditsnya tidak dijadikan hujjah karena ia banyak meriwayatkan hadits dengan mursal.[17]

3. Ibnu Juraij 

Menurut ibnu Hajar, ibnu Juraij adalah tsiqah, faqīh, fādhil. Bahkan Ahmad bin Hanbal berkata bahwa ibnu Juraij merupakan seorang perawi yang tsabat, shahih al-Hadits, ia tidak pernah meriwayatkan hadits kecuali dengan ketekunan.[18] Ibn Hibban pun memasukkannya pada golongan ats-Tsiqat.[19] Sedangkan pendapat Yahya bin Sa’id, ibnu Juraij merupakan orang terpercaya (Shaduk), jika ia meriwayatkan dengan redaksi tahdits (حدثني) maka itu adalah sima’ , jika dengan ikhbar (أخبرنا/ أخبرني), maka itu adalah qira`ah, namun jika dengan redaksi qaul (قال), maka anggap saja angin berlalu.[20]

Ibn Hajar menilai bahwa ibn Juraij meriwayatkan hadits secara mursal, melakukan tadlīs (menyamarkan identitas) dan merupakan perawi mudallis stadium 3.[21] Menurut Yahya bin Ma’in, ia tidak mempunyai periwayatan apapun dari az-Zuhri. [22] Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Quraisy bin Anas, ibn Juraij berkata, “Aku tidak mendengar sesuatu pun dari az-Zuhri, tetapi aku diberi salah satu bagian yang kemudian aku tulis dan aku ijazahkan kepadanya”. Bahkan ad-Daruqutni dalam hal ini berkata, “Hati-hatilah dengan tadlīsnya ibnu Juraij karena ia buruk dalam tadlīs, ia tidak mentadlis kecuali pada apa yang ia dengar dari perawi majruh”. [23] Sehingga dengan kata lain dapat dipastikan bahwa apa yang ia riwayatkan dengan tadlīs, itu merupakan riwayat yang ia dengar dari perawi majruh.

4. Abdul Majid bin Abdul Aziz 

Menurut Yahya bin Ma’in dan Ahmad bin Hanbal, Abdul Majid bin Abdul Aziz adalah perawi yang tsiqah. Selain itu, ia juga merupakan perawi yang paling tahu dan paling tsabat dalam periwayatan ibnu Juraij. Ibnu Hajar menilai bahwa ia merupakan orang yang terpercaya (shaduk) namun tersalah dalam periwayatannya. 

Abu Hatim berkata, “ia bukanlah perawi yang kuat.” Ibn Abi Maryam menyatakan bahwa ia merupakan perawi yang meriwayatkan dari orang-orang lemah. Menurut al-Bukhari, Abdul Majid bin Abdul Aziz meriwayatkan dengan irja`, atau meriwayatkan hadits yang bercorak ideologi kaum murji`ah. Ad-Daruqutni berpendapat bahwa hadits Abdul Majid tidak menjadi hujjah, namun ia tetap dianggap (yu’tabar bih). Bahkan menurut ibnu Hibban ia adalah perawi matruk, karena ia merupakan perawi yang membolak-balikan hadits, meriwayatkan hadits-hadits munkar dari para perawi masyhur.[24]

5. Abdul Wahab bin Abdul Hakam 

An-Nasa`i, ad-Daruqutni, ibn Hibban, dan ibnu Hajar Abdul Wahab bin Abdul Hakam merupakan perawi tsiqah. Bahkan adz-Dzahabi menilainya sebagai orang tsiqah, shalih, dan punya kemampuan yang besar. Selain itu menurut Abu bakar al-Khatib, ia adalah orang tsiqah, shalih, wara’, dan zahid.[25]

6. At-Tirmidzi 

Al-Idrisi menilai at-Tirmidzi sebagai salah satu Imam yang diikuti dalam ilmu hadits, ia menulis kitab al-Jami’, at-Tawarikh, al-‘Ilal dengan ketelitian. Menurut adz-Dzahabi ia merupakan al-Hafidz. Al-Mizzi juga menilainya sebagai al-Hafidz dan merupakan salah satu Huffadz yang Allah menjadikannya manfaat bagi kaum muslimin.[26]

D. ANALISIS KETERSAMBUNGAN SANAD












BAB IV

PENUTUP

A. PENDAPAT PARA AHLI

Adapun pendapat para ulama ahli hadits dalam periwayatan hadits ini diantaranya adalah:
  1. At-Tirmidzi berpendapat bahwa hadits ini gharib.
  2. Al-Bukhari tidak mengetahui hadits ini dan menganggapnya gharib. Ia tidak mengetahui bahwa al-Muthalib bin Hanthab pernah mendengar hadits dari sahabat kecuali hanya satu periwayatan saja.[1]
  3. Ad-Darimi menyatakan bahwa al-Muththalib tidak mendengar hadits dari sahabat satupun.
  4. Al-Qurtubi menilai hadits ini sebagai hadits gharib tsabit.
  5. Al-Albani menilai bahwa transmisi hadits ini dhaif karena al-Muththalib dan ibn Juraij mudallis dan ia telah meriwayatkan hadits ini dengan ‘an’anah. Maka pastinya, hadits ini mempunyai cacat pada dua tempat; pertama, keterputusan periwayatan diantara ibn Juraij dan al-Muththalib; kedua, keterputusan diantara al-Muththalib dan Anas bin Malik.[2]
B. KESIMPULAN

Dari penelitian singkat di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa kualitas transmisi pada periwayatan at-Tirmidzi dalam hadits ini adalah Dha’if, Mardud (lemah, tidak diterima) karena beberapa sebab, diantaranya: 

1). Terdapat perawi yang kredibilitasnya diragukan dan tidak diterima periwayatannya, yakni: 
  • Al-Muththalib bin Hanthab adalah perawi yang majruh karena ia merupakan perawi mursil dan mudallis dan dapat dipastikan bahwa ia tidak meriwayatkan hadits ini langsung dari Anas bin Malik karena ia bukan termasuk salah satu murid Anas bin Malik dan periwayatannya dari Anas bin Malik telah diingkari oleh Ali al-Madini dan at-Tirmidzi.
  • Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij (ibn Juraij) adalah perawi majruh karena merupakan perawi mursil dan mudallis stadium 3, yakni perawi yang menyamarkan periwayatan dari para perawi lemah dengan menggantinya dengan para perawi yang kuat.
  • Abdul Majid bin Abdul Aziz adalah perawi majruh karena ia berideologi murji`ah dan ia merupakan perawi matruk yang sering membolak-balikan hadits munkar menjadi masyhur.
2). Terdapat keterputusan samar (saqt khafi) pada transmisi hadits tersebut yang disebabkan oleh penyamaran identitas perawi (tadlis) oleh beberapa perawi yang meriwayatkan hadits ini dengan redaksi ‘an’anah.

Demikianlah laporan penelitian ini ditulis dengan sekemampuan peneliti. Semoga dapat diambil manfaat darinya walaupun disajikan dengan begitu singkat dan jauh dari kesempurnaan. Peneliti sangat mengharapkan saran dan kritik membangun yang kiranya dapat menyempurnakan penelitian ini. Memang tiada yang pernah bisa sempurna karena kesempurnaan seutuhnya milik Allah ‘Azza wa Jalla, wa huwa ‘alam bis sawab… 



ENDNOTE


[1] Dr. A, J. Wersinck, Al-Mu’jam al-Mufahrasy, Juz IV, hal. 181.
   [2] Sunan at-Tirmidzi Kitab  Fadhāil al-Qur`an,  Bab 19, No. 2916  (Kairo: Dār al-Hadīts, 2005) , Juz V, hal. 25.

[3] Sunan Abu DawudKitab Shalat, Bab Fī Kans al-Masjid, No. 461, (Kairo: Dār al-Hadīts, 1999) , Juz I, hal. 230.
[4] Ahmad bin Hajar al-‘Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib, (Bairut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi, 1993), Juz I, hal. 237-238; Jamaluddin Abi al-Hajjaj Yusuf al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, (Bairut: ar-Risalah, 1998), Juz I, hal. 289.
[5] Menurut ibnu Hajar ada redaksi lain yang diriwayatkan oleh Hamad bin Zaid dengan tambahan: “…panjangkanlah umurnya dan ampuni dosanya”. Lihat catatan kaki pada Tahdzib at-Tahdzib, hal. 238.
[6] Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, Juz I, hal. 290. Ibn Hajar, Tahdzib at-Tahdzib,Juz I, hal. 237-238.
[7] Ibn Hajar, Tahdzib at-Tahdzib, Juz V, hal. 459; Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, Juz VII, hal. 131-132.
[8] Ibn Hajar, Tahdzib at-Tahdzib, Juz III, hal. 501-502; Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, Juz IV, hal. 559-560.
[9] Ibn Hajar, Tahdzib at-Tahdzib, Juz III, hal. 488.
[10] Ibn Hajar, Tahdzib at-Tahdzib, Juz III, hal. 529. Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal,Juz V hal. 17.
[11] Sunan at-Tirmidzi, Juz I, hal. 62.
[12] Ibn Hajar, Tahdzib at-Tahdzib, Juz I, hal. 238
[13] Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, Juz I, hal. 293.
[14] Abdurrahman bin Abu Bakar as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi, (Riyad: Maktabah Riyad Hadits,___), Juz II, hal. 214.
[15] Ibn Hajar, Tahdzib at-Tahdzib, Juz V, hal. 459- 460; Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, Juz VII, hal. 132.
[16] At-Tirmidzi, 2916;  Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, Juz VII, hal. 132.
[17] Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, Juz VII, hal. 132.
[18] Riwayat Abu Thalib dalam al-Jarh wa Ta’dil; Catatan kaki pada Tahdzib al-Kamal, Juz IV, hal. 561.
[19] Ibn Hajar, Tahdzib at-Tahdzib, Juz III, hal. 503.
[20] Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, Juz IV, hal. 562.
[21] Ahmad bin Hajar al-‘Asqalani, Thabaqat al-Mudallisin, (Jordan: Maktabah al-Manar,___), hal. 41.
[22] Riwayat Utsman bin Sa’id ad-Darimi; Tahdzib al-Kamal, Juz IV, hal. 561.
[23] Ibn Hajar, Tahdzib at-Tahdzib, Juz III, hal. 503.
[26] Ibn Hajar, Tahdzib at-Tahdzib, Juz III, hal. 488.
[25] Ibn Hajar, Tahdzib at-Tahdzib, Juz III, hal. 529; Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal,Juz V hal. 17.
[26] Sunan at-Tirmidzi, Juz I, hal. 67-68.
[27] Sunan at-Tirmidzi, Juz V, hal. 25.
[28] Muhammad Nashiruddin al-Albani, Dha’if Abu Dawud, (Kuwait: Muassasah Ghuras, 1423H), Juz I, hal. 164.

DAFTAR PUSTAKA



  • Abu Dawud, Sulaimān bin al-Asy’ats as-Sajastani, Sunan Abī Dāud, (Dār al-Hadīts: Kairo 1999)
  • At-Tirmidzi, Muhammad bin ‘Isa bin Saurah, Sunan At-Tirmidzi, (Kairo: Dār al-Hadīts 2005)
  • Ibn Hajar, Ahmad bin Hajar al-‘Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib, (Bairut: Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi, 1993)
  • Al-Mizzi, Jamaluddin Abi al-Hajjaj Yusuf, Tahdzib al-Kamal, (Bairut: ar-Risalah, 1998)
  • As-Suyuthi, Abdurrahman bin Abu Bakar, Tadrib ar-Rawi, (Riyad: Maktabah Riyad Hadits,___)
  • Al-Albani, Muhammad Nashiruddin, Dha’if Abu Dawud, (Kuwait: Muassasah Ghuras, 1423H)
  • Wersinck, Dr. A, J., Al-Mu’jam al-Mufahrasy li Alfadz al-Hadits.
  • ‘Ubaydi, Ahmad Hasbillah, “Pengantar Ilmu Takhrij”, makalah disampaikan pada mata kuliah Takhrij Hadits, (Ciputat, 2011)
Share this article :

Posting Komentar


 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. SUARA BERBAGI - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger